(Shutterstock/Fatih Deger) |
Kaligrafi merupakan seni menulis indah dengan merangkai berbagai bentuk huruf sambil mempertimbangkan tata letak yang tepat, agar menciptakan tulisan yang tersusun indah dan bernilai seni tinggi. Pelaku ekonomi kreatif dari subsektor kriya, khususnya pengrajin kaligrafi, dari berbagai belahan dunia memiliki andil besar dalam mengenalkan seni kaligrafi secara global. Saking besarnya seni kaligrafi, pada 10 Agustus ditetapkan sebagai Hari Kaligrafi Dunia.
Sayangnya, tidak sedikit yang beranggapan jika seni kaligrafi hanya berbentuk tulisan Arab, yang diambil dari ayat-ayat Al Quran. Padahal, seni kaligrafi juga bisa dilakukan menggunakan huruf-huruf latin. Bahkan, setiap negara memiliki seni kaligrafi yang berbeda-beda, salah satu contohnya adalah seni kaligrafi Korea yang menggunakan Hanzi atau aksara Tiongkok.
Hanya saja, kaligrafi Arab jauh lebih populer di Indonesia, dibandingkan seni kaligrafi lainnya. Tentunya popularitas seni kaligrafi Arab berkaitan erat dengan kehadiran kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ribuan tahun silam. Hal inilah yang menjadikan kaligrafi di Indonesia dikenal dengan Khat (dalam bahasa Arab), atau diartikan sebagai tulisan indah dengan dasar garis, coretan pena, atau tulisan tangan.
Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perkembangan seni kaligrafi Arab di Indonesia berkaitan erat dengan kedatangan kerajaan Islam dalam menyebarkan agama di Indonesia. Berawal dari sinilah penyebaran aksara Arab di kalangan masyarakat lokal dimulai. Bahkan, penggunaan aksara tidak hanya digunakan dalam naskah berbahasa Arab, tapi juga sebagai penulisan bahasa Melayu atau disebut dengan Pegon (huruf Jawi).
Pada abad ke-12 mulai bermunculan pengrajin kaligrafi yang beradu kreativitas dalam seni memahat pembuatan kaligrafi. Kemudian pada abad ke-16 hingga ke-19, corak pahatan dalam seni kaligrafi di Indonesia mulai diselipkan kalimat Tauhid. Satu buktinya bisa dilihat dalam makam kuno Gua Tallo Sulawesi Selatan, Bima, Ternate, dan Tidore.
Seiring berjalannya waktu, seni kaligrafi di Indonesia mulai berkembang pesat. Pada abad ke-18 hingga abad ke-20, semakin banyak pengrajin kaligrafi di Indonesia yang menciptakan seni kriya dengan menggunakan berbagai media. Baik itu pembuatan seni kaligrafi di kertas, kayu, logam, hingga kaca bening.
Kaligrafi Menghidupkan Subsektor Kriya
Seiring berkembangnya zaman, kaligrafi tidak sekadar gerak keindahan tangan. Tapi, juga menghidupkan subsektor kriya melalui pahatan-pahatan kreatif dari para pengrajin kaligrafi. Buktinya bisa dilihat dari banyaknya Sentra Kerajinan Kaligrafi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh Kampung Tembiring, di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Kampung Tembiring dikenal sebagai Kampung Kaligrafi karena sebagian besar warganya berprofesi sebagai pengrajin kaligrafi. Menariknya, Kampung Tembiring tercatat banyak menghasilkan kaligrafi dengan media kuningan dan tembaga. Memiliki kualitas yang baik dan berdaya saing, tidak mengherankan jika seni kaligrafi dari Kampung Tembiring banyak diekspor ke berbagai negara.
Selain Kampung Tembiring, Desa Bedono di Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang memiliki Sentra Kerajinan Kaligrafi yang sukses menghidupkan subsektor kriya. Ciri khas kaligrafi asli Desa Bedono adalah pembuatannya yang menggunakan bahan lempengan kuningan yang dipahat dengan ukiran kaligrafi berisi ayat-ayat Al Quran. Seni kaligrafi dari kuningan asli Desa Bedono tidak hanya dijual di dalam negeri saja, tapi juga berhasil menembus pasar Turki.
Melihat kedua Sentra Kerajinan Kaligrafi dapat menjadi bukti nyata jika kaligrafi menjadi karya seni dari subsektor kriya yang memiliki potensi besar dalam mendorong industri kreatif Indonesia ke pasar dunia. Sehingga, diharapkan dapat meningkatkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung dan mengenal kearifan lokal Indonesia secara langsung.
@Ragam Jatim